A.
Pengertian
Manusia
Manusia
berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin), yang
berarti berpikir, berakal budi atau makhluk yang berakal budi. Manusia adalah mahluk
yang luar biasa kompleks.
Menurut Wikipedia bahasa Indonesia,
manusia atau orang dapat diartikan berbeda-beda dari segi biologis,
rohani,
dan istilah kebudayaan, atau secara campuran. Secara biologis,
manusia diklasifikasikan sebagai Homo sapiens
(Bahasa Latin yang berarti "manusia yang
tahu"), sebuah spesies primata
dari golongan mamalia
yang dilengkapi otak
berkemampuan tinggi. Dalam hal kerohanian, mereka dijelaskan menggunakan konsep
jiwa
yang bervariasi di mana dalam agama,
dimengerti dalam hubungannya dengan kekuatan ketuhanan atau makhluk hidup.
Dalam antropologi kebudayaan, mereka dijelaskan
berdasarkan penggunaan bahasanya,
organisasi mereka dalam masyarakat majemuk
serta perkembangan teknologinya, dan terutama berdasarkan kemampuannya
untuk membentuk kelompok, dan lembaga
untuk dukungan satu sama lain serta pertolongan.
Penggolongan manusia yang paling utama
adalah berdasarkan jenis kelaminnya. Secara alamiah, jenis
kelamin seorang anak yang baru lahir entah laki-laki
atau perempuan.
Anak muda laki-laki dikenal sebagai putra
dan laki-laki dewasa sebagai pria.
Anak muda perempuan dikenal sebagai putri
dan perempuan dewasa sebagai wanita.
B.
Pengertian
Sifat Hakikat Manusia
Manusia
adalah satu-satunya makhluk yang memiliki kemampuan rasional, karena makhluk
yang memiliki akal. Keberadaam akal sebagai potensi terpenting yang dimiliki
manusia telah banyak di fikirkan oleh para ahli dalam berbagai displin ilmu.
Aristoteles menyatakan bahwa esensi manusia terletak pada akalnya yang
menjadikan sebagai makhluk yang berfikir. Sifat hakikat manusia dapat diartikan
sebagai ciri-ciri karakteristik, yang secara prinsipil membedakan manusia dari
hewan. Meskipun antara manusia dengan hewan banyak kemiripan terutama jika
dilihat dari segi biologisnya. Bahkan beberapa filosof seperti Socrates
menamakan manusia itu Zoon Politicon (hewan yang bermasyarakat), Max Scheller
menggambarkan manusia sebagai Das Kranke Tier (hewan yang sakit) (Drijarkara,
1962: 138) yang selalu gelisah dan bermasalah. Kenyataan dan pernyataan
tersebut dapat menimbulkan kesan yang keliru, mengira bahwa hewan dan manusia
itu hanya berbeda secara gradual, yaitu suatu perbedaan yang melalui rekayasa
dapat dibuat menjadi sama keadaannya, misalnya air karena perubahan temperature
lalu menjadi es batu. Seolah-olah dengan kemahiran rekayasa pendidikan orang
utan dapat dijadikan manusia. Padahal kita tahu bahwa manusia mempunyai akal
dan pikiran yang dapat dijadikan sebagai perbedaan manusia dengan hewan.
C.
Wujud
Sifat Hakikat Manusia
Wujud sifat hakikat manusia yang
dikemukakan oleh faham eksistensialisme yakni:
1.
Kemampuan Menyadari Diri
Kaum rasionalisme menyatakan bahwa kunci
pembeda antara manusia dengan hewan adalah manusia yang mempunyai kemampuan
menyadari diri, sehingga memiliki ciri khas atau karakteristik diri. Kemampuan
inilah yang menyebabkan manusia dapat membedakan diri dengan makhluk lainya
yang berada di lingkungan sekitarnya. Selain itu, manusia juga memiliki
kemampuan membuat jarak pada lingkungannya, Kemampuan ini dibagi menjadi 2 arah
yaitu eksternal dan internal.
a)
Arah eksternal
Terjadi apabila seseorang menjadikan
lingkungan sebagai objek, dan dirinya memanipulasi kedalam lingkungan untuk
memenuhi kebutuhannya. Contohnya pada gejala egoisme.
b)
Arah Internal
Terjadi apabila seseorang menjadikan
lingkunagan sebagai subjek yang berhadapan dengan objek. Dan dirinya berperan
sebagai objek. Contohnya seperti pengabdian, pengorbanan, dan tenggang rasa.
Didalam
proses pendidikan, kecenderungan dua arah tersebut perlu dikembangkan secara
seimbang. Pengembangan kearah luar merupakan pembinaan aspek sosialitas,
sedangkan pembinaan arah ke dalam berarti pembinaan aspek individualitas
manusia.
2. Kemampuan
Bereksistensi
Kemampuan
bereksistensi perlu dibina melalui pendidikan. Peserta didik diajar agar
belajar dari pengalamannya, belajar mengatisipasi sesuatu keadaan atau
peristiwa, belajar melihat prospek masa depan serta mengembangkan daya
imajinasi kreatif. Pendidikan mengarahkan peserta didik untuk membuat cita-cita
yang positif dimasa mendatang.
3. Kata
Hati
Kata
hati sering disebut dengan istilah hati nurani, lubuk hati, ataupun suara hati
yang memiliki pengertian ialah kemampuan pada diri manusia yang memberi
penerangan tentang baik buruknya perbuatan sebagai manusia.
Dalam
mengambil keputusan terkadang orang mengalami kesulitan, terutama disaat orang
tersebut harus mengambil keptutusan antara yang baik atau kurang baik, atau
antara yang buruk atau lebih buruk. Seseorang akan dihadapkan berbagai pilihan,
agar dapat memilih alternatif yang terbaik. Sehingga harus memiliki kemampuan
menganalisis permasalahan.
4. Moral
Moral merupakan
suatu perbuatan yang disertai dengan kata hati. Dengan kata lain, moral adalah
perbuatan itu sendiri. Kadangkala antara moral dan hati masih terdapat jarak.
Artinya, seseorang yang telah memiliki kata hati yang tajam belum tentu
perbuatannya itu merupakan realisasi dari kata hatinya sendiri.
Moral
atau perbuatan berkaitan dengan kata hati, maka dari itu perbuatan harus
sinkron dengan kata hati. Apabila seseorang dapat mensinkronkan antara
perbuatan dan kata hatinya, maka dapat dikatakan orang yang bermoral baik atau
moral yang tinggi. Namun sebaliknya, apabila tidak dapat mensinkronkan antara
perbuatan dan kata hatinya. Maka dapat dikatakan orng yang memiliki moral yang
buruk atau lazim dikatakan tidak bermoral.
5. Tanggung
Jawab
Tanggung jawab
merupakan sifat dari manusia dimana memiliki kesediaaan untuk menanggung
segenap akibat dari perbuatan yang menuntut jawab.
Wujud bertanggung jawab bermacam-macam yaitu tanggung jawab terhadap Tuhan,
diri sendiri, dan masyarakat. Bertanggung jawab kepada Tuhan berarti menanggung
tuntutan norma-norma agama, misalnya perasaan berdosa dan terkutuk. Tanggung
jawab kepada diri sendiri berarti menanggung tuntutan kata hati misalnya dalam
bentuk penyesalan yang mendalam. Sedangkan bertanggung jawab kepada masyarakat
berarti menanggung tuntutan norma-norma social. Bentuk tuntutannya berupa
sanksi-sanksi social seperti semoohan masyarakat.
6. Rasa
Kebebasan
Merdeka merupakan rasa bebas dimana kita
tidak terikat oleh sesuatu, tetapi sesuai dengan tuntutan kodrat manusia.
Dengan demikian, terdapat dua hal yang bertentangan pada pernyataan tersebut
yaitu ‘rasa bebas’ dan ‘sesuai dengan tuntutan kodrat manusia’ yang berarti ada
ikatan. Kemerdekaan dalam arti yang sebenanrya memang berlangsung dalam
keterikatan. Artinya, bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan dengan
tuntutan kodrat manusia. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa merdeka tidak
sama dengan berbuat bebas tanpa ikatan. Perbuatan bebas tanpa memperhatikan
petunjuk kata hati, sebenarnya hanya merupakan kebebasan semu. Sebab, hanya
kelihatannya bebas, tetapi sebenarnya justru tidak bebas, karena perbuatan
seperti itu segera disusul dengan sanksi-sanksinya. Di sini terlihat bahwa
kemerdekaan berkaitan erat dengan kata hati dan moral. Seseorang mengalami rasa
merdeka apabila segenap perbuatannya (moralnya) sesuai dengan apa yang
dikatakan oleh kata hatinya
7. Kewajiban
dan Hak
Kewajiban dan hak adalah dua hal keterkaitan yang muncul dari manusia
sebagai makhluk social. Adanya yang satu karena adanya yang lain. Tidak ada hak
tanpa kewajiban, jika seseorang mempunyai hak untuk menuntut sesuatu maka tentu
ada pihak lain yang berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut. Sebaliknya,
kewajiban ada karena adanya pihak lain yang harus dipenuhi haknya. Kemampuan
mengahayati kewajiban sebagai keharusan atau hal yang wajib tidak lah lahir
dengan sendirinya. Tetapi melalui sebuah proses dapat menghayati kewajiban.
D.
Dimensi
Sifat Hakikat Manusia
Terdapat
empat macam dimensi sifat hakikat manusia, yaitu sebagai berikut.
1. Dimensi
keindividualism
Lysen
mengartikan individu sebagai orang seorang, yang merupakan suatu keutuhan yang
tidak dapat dibagi-bagi. Individu dapat diartikan sebagai pribadi. Selanjutnya
Langeveld menyatakan bahwa setiap orang memiliki individualitas. Oleh karena
itu, individu bersifat unik sehingga tidak ada cara dan bandingannya. Karena
ada individualitas ini, setiap orang memiliki kehendak, perasaan, cita-cita,
kecenderungan, semangat, dan daya tahan yang berbeda.
Kecenderungan akan perbedaan ini sudah
mulai tumbuh sejak seorang anak menolak
ajakan ibunya pada masa kanak-kanak.
Langeveld selanjutnya menyatakan bahwa setiap anak memiliki kecenderungan untuk
mandiri yang sangat kuat, meskipun di sisi lain pada anak terdapat rasa tidak
berdaya, sehingga memerlukan pihak lain (pendidik) yang dapat dijadikan tempat
untuk memberi perlindungan dan bimbingan.
Pola pendidikan yang bersifat demokratis
dan komunikasi yang dialogis dipandang cocok untuk mendorong tumbuh dan
berkembangnya potensi individualitas seorang anak. Sedang pola pendidikan yang
menghambat perkembangan, seperti pola pendidikan yang bersifat otoriter yang
disebut juga pendidikan yang patologis.
2. Dimensi
Kesosialan
Langeveld
menyatakan bahwa setiap bayi yang dilahirkan dikaruniai potensi sosialitas.
Maksudnya, setiap anak dikaruniai benih keunggulan untuk bergaul. Adanya
dimensi kesosialan pada diri manusia tampak lebih jelas pada dorongan untuk
bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul itu, setiap orang ingin bertemu
dengan sesamanya.
Kant, seorang filosof bangsa Jerman
menyatakan bahwa manusia hanya menjadi manusia jika berada di antara manusia.
Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa tidak ada seorang manusia yang dapat
hidup seorang diri lengkap dengan sifak hakikat sifat kemanusiaannya di tempat
terasing yang terisolir.
3. Dimensi
Kesusilaan
Dalam
bahasa ilmiah sering digunakan dua istilah yang mempunyai konotasi berbeda
dalam menjelaskan kata kesusilaan, yakni etiket yang berkenaan dengan
kepantasan dan kesopanan, dan etika yang berkenaan dengan persoalan kebaikan.
Sehubungan dengan hal tersebut, ada dua pendapat, yakni:
a. Golongan
yang menganggap bahwa kesusilaan mencakup etika dan etiket, keduanya dibutuhkan
dalam kehidupan dan saling bertautan.
b. Golongan
yang memandang bahwa etiket perlu dibedakan dari etika karena masing-masing
mengandung kondisi yang tidak selamanya selalu sejalan. Orang yang sopan, belum
tentu baik, dalam artian tidak merugikan orang lain. Sebaliknya, orang yang
baik, belum tentu halus dalam kesopanan. Kesopanan dan kebaikan masing-masing
diperlukan demi keberhasilan hidup dalam masyarakat.
Kesusilaan dalam hal ini mencakup etika
dan etiket. Persoalan kesusilaan selalu berhubungan erat dengan nilai-nilai.
Pada hakikatnya, manusia mempunyai kemampuan untuk mengambil keputusan susila,
serta melakanakannya sehingga dikatakan manusia itu adalah makhluk susila.
Drijarkara (1978), mengartikan manusia
susila sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai, menghayati dan melaksanakan
nilai-nilai tersebut dalam perbuatan. Dilihat dari asalnya, nilai-nilai
diproduk, dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu nilai otonom yang bersifat
individu (kebaikan menurut pendapat seseorang), nilai heteronom yang bersifat
kolektif (kebaikan menurut kelompok), dan nilai keagamaan atau theonom yaitu
nilai yang berasal dari Tuhan dan mutlak sifatnya.
4. Dimensi
Keberagamaan
Pada
hakikatnya, manusia adalah makhluk religius. Beragama merupakan kebutuhan manusia
karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan tempat bertopang.
Agama sendiri dapat dikatakan sebagai sandaran vertikel bagi kehdupan manusia.
Kohnstamm berpendapat bahwa pendidikan
agama seyogianya menjadi tugas orang tua dalam lingkungan keluarga, karena
pendidikan agama adalah persoalan afektif dan kata hati. Pendapat Kohnstamm ini
mengandung kebenaran dilihat dari segi kualitas hubungan antara pendidik dan
peserta didik. Untuk pengkajian lebih lanjut, dapat dilakukan dalam lingkugan
formal atau sekolah dan non formal atau masyarakat.
E. Pengembangan Dimensi Hakikat Manusia
Setiap manusia
lahir dikaruniai naluri , yaitu dorongan – dorongan alami (dorongan makan,
sexs, mempertahankan diri dan lain – lain). Jika seandainya manusia dapat hidup
dengan naluri maka tidak berdaya ia dengan hewan. Hanya melalui pendidikan
status hewani itu dapat diubah menjadi kearah yang status manusiawi. Meskipun
pendidikan itu pada dasarnya baik tetapi dalam pelaksanaanya mungkin bisa saja
terjadi kesalahan – kesalahan yang lazimnya di sebut salah pendidik itu adalah
manusia biasa. Sehubungan dengan itu ada dua kemungkinan yang bisa terjadi
yaitu:
1.
Pengembangan
yang utuh
Tingkat
keutuhan perkembagan dimensi hakikat manusia ditentukan oleh dua faktor, yaitu
kualitas dimensi hakikat manusia itu sendiri secara potensial dan kualitas yang
disediakan untuk memberikan pelayanan atas perkembanganya. Pendidikan yang
berhasil adalah pendidikan yang sanggup menghantar subjek didik menjadi dirinya
selaku anggota masyarakat dan makhluk beragama. Dalam pengembangan yang utuh,
dapat dilihat dari wujud dimensinya dan dari arahnya.
a)
Dari wujud
dimensinya
Keutuhan terjadi
antara aspek jasmani dan rohani. Pengembangan aspek jasmani dan rohaniah
dikatakan utuh jika keduanya mendapat pelayanan secara seimbang. Kualitas
perkembangan aspek rohani seperti, pandai, berwawasan luas, berpendirian teguh,
bertenggang rasa, dinamis, kreatif terlalu memandang bagaimana kondisi
fisiknya. Pengembangan keindividuan, kesosialan, kesusilaan, dan keragaman.
Dikatakan utuh jika semua dimensi mendapat pelayanan dengan baik. Pengembangan
domain kognitif, efektif dan psikomotorik dikatakan utuh jika ketiga – tiganya
mendapat pelayanan yang berimbang. Pengutamaan domain kognitif dengan
mengabaikan domain efektif misalnya yang terjadi pada system persekolahaan
dewasa ini hanya akan menciptakan orang –orang pintar yang tidak berwatak.
b)
Dari arah
pegembangan
Keutuhan
pengembangan dimensi hakikat manusia dapat dirahkan kepada pengembagan dimensi
keindividuan, kesosialan, kesusilaan dan keragaman secara terpadu. Jika
dianalisa satu persatu gambaranya sebagai berikut : pengembangan yang sehat
terhdap dimensi keindividuan memberi peluang pada seorang untuk menjadikan
eskplorasi terhadap potensi – potensi yang ada pada dirinya, baik kelebihanya
maupun kekuranganya.
2.
Pengembangan
yang tidak utuh.
Perkembangan yang tidak utuh terhdap dimensi
hakikat manusia akan terjadi didalam proses pengembangan jika ada unsur dimensi
hakikat manusia yang terabaikan untuk ditangani, misalnya kesosialan didominasi
oleh pengembangan domain kognitif. Pengembangan yang tidak utuh berakibat
terbentuknya keperibadian yang lemah. Hal ini yang mungkin dapat menjadikan
seseorang kurang memahami dirinya sebagai pribadi yang utuh.
F.
Sosok
Manusia Indonesia atau Manusia Pancasila
Sejak tahun 1989, dengan diberlakukannya
UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Tujuan Pendidikan
Nasional (TPN) dirumuskan sebagai berikut: Pendidikan Nasional bertujuan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya,
yaitu manusia beriman dan bertawa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti
luhur, memiliki pengetahuan dan keterampailan, sehat jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan
dan kebangsaan. Sedangkan dalam GBHN 1993, ditetapkan Tujuan Pendidikan
Nasional yang lebih rinci sebagai berikut : Pendidikan Nasional bertujuan untuk
meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertawa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa , berbudi luhur berkepribadian, mandiri, tangguh,
cerdas kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, propesional bertanggung
jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani, menumbuhkan jiwa
patriotik, dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat
kebangsaan, dan kesetiakawanan sosial serta kesadaran pada sejarah bangsa dan
sikap menghargai jasa para pahlawan, serta beroreantasi kemasa depan ……,(TAP
MPR Nomor II/MPR/1993). Karateristik manusia Indonesia seutuhnya,berdasarkan
pandangan hidup Pancasila terdiri dari:
1. Karateristik
manusia berkualitas
Karakteristik manusia berkualitas yang bercirikan antara lain: beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian,
memiliki ilmu pengetahuan, maju, tanggung dan cerdas.
2. Karateristik
manusia yang kompetitif
Karateristik manusia yang
kompetitif yang bercirikan antara lain: beretos kerja, propesional, bertanggung
jawab, poduktif, sehat jasmani,dan sehat rohani, berjiwa patriotik,
meningkatkan kebangsaan kesetiakawanan sosial, serta berorientasi ke masa
depan. Pancasila sebagai kepribadian bangsa Indonesia merupakan kerangka acuan
mendasar dalam menetapkan Tujuan Pendidikan Nasional. Mengkaji konsep Pancasila
sebagai dasar Negara serta rumusan TPN di atas, secara tersirat ada tiga hal
yang cukup mendasar sebagai ciri sosok manusia Indonesia , yaitu berkaitan
dengan 3 hal: moral, ilmu dan amal. Sosok manusia Indonesia sepatutnya memiliki
moral dan berbudi pekerti luhur, memiliki ilmu pengetahuan yang memadai.
Kemuduan dari moral yang luhur dan ilmu yang memadai tarsebut, sosok manusia
Indonesia harus mampu mengamalkan ilmu dan memdarmabaktikan segala kemampuannya
untuk kesejahteraan nusa, bangsa, dan Negara.Ilmu
bukan hanya untuk kepentingan subjektif, tetapi harus diamalkan untuk
pembangunan bangsa .Oleh sebab itu Pancasila sebagai falsafah bangsa yang
mewarnai garapan pendidikan nasional dan dasar bagi pembentukan manusia
Indonesia seutuhnya.
Rincian
keempat dimensi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
a)
Dimensi intelektual, yaitu sosok manusia
Indonesia yang memiliki pandangan, wawasan ilmu pengetahuan, dan kemampuan
memecahkan masalah yang dihadapi.
b)
Dimensi sosial, yaitu sosok manusia
Indonesia yang memiliki hubungan antar manusia dengan lingkungannya, mengetahui
hak dan kewajiban sebagai warga Negara, serta keanggotaan dalam organisasi yang
produktif.
c)
Dimensi personal, yaitu sosok manusia
Indonesia yang memiliki pertumbuhan fisik dan kesehatan (kualitas fisik),
stabilitas emosional, kesehatan mental, mempunyai nilai–nilai moral religius,
mempunyai nilai dan rasa estesis, adanya kemampuan untuk mengembangkan diri.
d)
Dimensi produktifitas, yaitu sosok
manusia Indonesia yang memiliki kesangupan memilih keahlian/pekerjaan yang
sesuai dengan kemampuannya, kemampuan untuk mempertinggi keterampilan,
keserasian hidup berkeluarga, mampu menempatkan diri sebagai konsumen dan
produsen yang baik, kreatif dan bekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar